Info Terkini

10/recent/ticker-posts

Bekas Kandang Babi Jadi Tempat Tinggal Warga Miskin di Siantar

Kado Ultah Kota Siantar ke-141

Lydia, bocah kecil putri warga miskin menggendong adeknya, Senin (23/4).Lydia, bocah kecil putri warga miskin menggendong adeknya, Senin (23/4).SIANTAR- Senin 23 April 2012 Kota Pematangsiantar genap 141 tahun Kota Pematangsiantar. Pesta kemeriahan tampak di inti kota. Namun tak jauh dari rumah dinas walikota di Jalan MH Sitorus, keluarga Daniel Sibarani (42) hidup dalam kemiskinan. Ironis memang. Tetangga Hulman Sitorus yang hanya berbatasan sungai dengan walikota itu tinggal di bekas kandang babi. 

Di sana, Daniel tinggal bersama istri Lina br Sihotang (42), serta enam orang anaknya. Tempat  tinggal mereka dikelilingi Bah Bolon yang setiap hari airnya keruh dan kuning. Jika dilihat dari kediaman Walikota Pematangsiantar hanya berjarak 50 meter.
Lydia sedang menggendong dan bermain dengan adiknya.Lydia sedang menggendong dan bermain dengan adiknya.Senin sekira pukul 15.00 WIB, METRO menyambangi keluarga ini. Jalan menuju rumah Daniel Sibarani dan keluarganya termasuk sulit dan sukar ditemukan. Jika lewat Jalan MH Sitorus, jalan masuk persis di samping rumah dinas walikota. Perlu menuruni tebing Bah Bolon dan harus siap basah karena aliran sungai yang hendak dilewati sedalam pinggang orang dewasa. Sama halmnya jika melaluinya dari Jalan Gereja. Meski diakuinya susah mencari jalan masuk ke tempat tinggal keluarga ini. Rumah mereka terpinggirkan dan terhalang ruko-ruko bertingkat yang sedang marak dibangun di Jalan Gereja. Jika mereka ingin pulang ke rumah, keluarga ini harus melewati jalan semak belukar dipinggir Bah Bolon.

Setelah bertanya di sana-sini di sekitar Jalan Gereja, ternyata jalan pintas terdekat melalui Stasiun Radio Kidung Kebenaran (SRKK). METRO pun permisi dan meminta izin kepada pemilik radio agar bisa menjumpai keluarga ini.

Pinggiran Bah Bolon menuju rumah keluarga Daniel ternyata tanah lembek dan rawa-rawa. Persis di bibir Bah Bolon, beberapa potongan bambu dipasang sebagai jembatan darurat menuju rumah mereka. “Ibu dan ayah tidak di rumah, lagi ke ladang di Panombeian Panei,” ungkap gadis kecil diperkirakan berusia tujuh tahun sambil menggendong adiknya yang masih kecil.

Di lokasi ini, ada lima anak kecil dengan kondisi tubuh yang terlihat tidak terurus. Ada yang pakai baju dan ada yang tidak berbaju. Sebagian muka wajah anak-anak ini dicoret dengan arang hitam. Tidak jauh beda, situasi kumuh dan kotor begitu terasa di sekitar lokasi yang mereka katakan rumah ini.

Sungguh, tempat tinggal mereka tidak layak dikatakan rumah. Beratapkan seng, namun tidak memiliki dinding. Dinding mereka hanya kain panjang yang diikatkan antara ujung satu dengan yang lain. Lebih layak tempat tinggal mereka ini dikatakan gubuk dengan panjang bangunan sekitar 2,5 meter dan lebar 2 meter. “Kami tinggal di sini om, sudah hampir dua bulan. Bisa om, muat semua keluarga kami kalau mau tidur. Kalau kami di atas tidurnya, ayah sama ibu dibawah,” ungkap gadis kecil yang belakangan diketahui bernama Lidia ini.

Meski begitu, kelima anak ini terlihat bahagia bermain diantara situasi yang kumuh tersebut. Lidia mengatakan, setiap hari, ayah dan ibunya meninggalkan mereka di lokasi itu berlima karena orangtuanya bekerja di Panombeian Panei. “Ayah sama ibu pulangnya jam lima, kalau enggak jam enam om,” kata Lidia. METRO pun bergegas pulang ke kantor.

Karena ingin sekali berjumpa dengan keluarga ini,  malam sekitar pukul 19.30 WIB, METRO kembali menyambangi lokasi. Kebetulan, Lina sudah pulang kerja  dari Panombeian Panei. Namun saat itu suaminya tidak berada di lokasi, Daniel sedang ada keperluan di luar rumah. Meski begitu, ternyata Lina dengan ramah menyambut tamu.
Rumah warga miskin di bantaran sungai Bah Bolon, tepatnya di samping rumah dinas Walikota.Rumah warga miskin di bantaran sungai Bah Bolon, tepatnya di samping rumah dinas Walikota.Sama hal seperti tadi siang, di rumah mereka ini tidak ada kursi untuk diduduki, tidak ada meja layaknya rumah untuk meletakkan gelas. Perbincangan hangat sambil berdiri ditengah Bah Bolon pun bergulir begitu saja.  “Saya dan suami kerjanya mangaleles. Itu aja kerjaan kami, tidak ada lagi yang lain. Mangaleles itu apa ya, mengumpulkan sisa butiran padi yang masih ada sesudah dipanen. Nanti padi yang kami dapat itu kami jual. Kalau dikumpul saya sama bapak, satu hari bisa kami dapat Rp60 ribu. Dari situ lah semua, makan, belanja anak-anak dan belanja sekolah anak,” jelasnya saat disinggung pekerjaan.
Dia mengatakan, sudah dua bulan mereka tinggal di tengah Bah Bolon ini. Selama itu pula dia pasrah pada ketentuan Tuhan jika sewaktu-waktu Bah Bolon meluap dan menghanyutkan tempat tinggal mereka. “Saya berdoa saja, Tuhan pasti menjaga keluarga kami. Kalaupun hujan deras di Kota Siantar dan juga di hulu sungai, selama ini belum pernah banjirnya sampai ke rumah kami,” jelasnya.

Perbincangan dengan Lina terkadang diselingi suara anaknya yang sedang bersandagurau. Tidak ketinggalan, Lina juga beberapa kali tertawa saat berbincang dengan METRO. Keluarga ini terlihat bahagia meski hidup dalam keadaan melarat dan miskin. “Karena tak punya uanglah makanya kami ke sini. Dulu kami ngontrak di Jalan SKI, batas kontrakan kami habis, uang kami tidak ada. Lalu saya mengajak suami supaya tinggal disini saja. Kalau lampu ini karena kebaikan bapak pendeta di SRKK itu, mereka yang masukkan ke rumah kami. Kami beli dua bola lampu,” ujarnya.

Pengakuannya, sejak empat tahun lalu, setelah izin dengan salah satu warga disekitar lokasi, tanah hanyut Bah Bolon ini mulai mereka usahai. Tanah ini mereka tanami dengan sayur-sayuran dan pohon pisang. Karena ingin serius mengelola tempat ini, merekapun beternak beberapa ekor babi di lokasi ini. “Sekarang, karena kami sudah tinggal disini, dua ekor babi yang kami pelihara itu kami lepas. Dia hidup bebas di lokasi ini. Bekas kandang babi inilah yang kami tempati sekarang” jelasnya.

Setelah panjang lebar bercerita hampir setengah jam, METRO pun ingin permisi pulang. Karena ingat hari ini Ulang Tahun Kota Siantar ke-141, METRO pun bertanya keinginan keluarganya kepada walikota, yang juga tetangga mereka ini. “Kalau pemerintah mau membantu, kami akan bersukur sekali. Apa pemerintah mau membantu warga seperti kami ini,” ujarnya menitip pesan kepada pemimpin di kota ini.
(ral/dro)(metrosiantar.com)

Berita Lainnya

There is no other posts in this category.

Post a Comment

0 Comments